Pages

Jumat, November 05, 2010

RSBI Dalam Sorotan (6)

Pengelolaan sekolah berlabel Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dinilai akan lebih terjamin kualitasnya jika dikelola oleh pemerintah pusat. Pengelolaan yang dilimpahkan kepada pemerintah daerah cenderung memungkinkan terjadinya diskriminasi antardaerah karena perbedaan kemampuan sumber daya manusia, sarana dan prasarana.

Demikian diungkapkan Ketua Lembaga Konsumen Yogyakarta, Widiyantoro, di Yogyakarta, Selasa (26/10/2010). "Akan lebih terjamin mutu dan lebih efektif jika dikelola oleh pemerintah pusat karena terjadi kesamaraatan dan kesetaraan pada masing-masing daerah," kata Widiyantoro.

Dia mengatakan, saat ini pemerintah masih perlu mengkaji kembali tentang prosedur dan konsep RSBI. Kaji ulang tersebut kelak akan membuat pelaksanaannya lebih terarah dan mencapai hasil yang diinginkan.

"RSBI perlu dikaji ulang prosedur dan konsepnya sebelum dimplementasikan pada masyarakat. Yang diinginkan masyarakat itu bukan sekadar sekolah dengan citra internasional saja, tetapi kualitasnya harus bertaraf internasional juga," katanya.

Widiyantoro menambahkan, standar sekolah bertaraf internasional tidak hanya tenaga pendidik yang hanya dibekali dengan bahasa asing, tetapi juga harus dibekali dan difasilitasi dengan keahlian lainnya.

"Misalnya, untuk mencapai kulitas sekolah bertaraf internasional para tenaga pendidik sebaiknya difasilitasi dan diberi kesempatan untuk pendidikan ke luar negeri. Ini agar mereka dapat menerapkan pengalaman dan ilmu yang mereka dapat di negara tersebut, jadi tidak hanya sekedar mengajar saja, tetapi tenaga pendidik juga harus belajar," katanya. (Kompas.com)

RSBI Dalam Sorotan (5)

Penyelenggaraan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional atau RSBI SD, SMP, SMA/SMK di DI Yogyakarta mengalami banyak hambatan sumber daya manusia maupun sarana dan prasarana pendukung. Sebagian besar guru RSBI belum memenuhi kriteria berpendidikan minimal S2.

"SDM guru jauh dari standar. Kami mengusulkan guru-guru bisa menempuh S2 secara bertahap," ujar Kepala Bidang Perencanaan dan Standardisasi, Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY Baskara Aji, Senin (11/10).

Data Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga DIY menunjukan, terdapat 1.697 RSBI. Dari 1.848 guru di 43 RSB tingkat SD, SMP, SMA/SMA, hanya 151 berlatar pendidikan S2. Sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 78 Tahun 2009, guru tingkat SD minimal harus ada 10 persen guru berijazah S2, di tingkat SMP 20 persen, dan tingkat SMA/SMK minimal 30 persen.

Menurut Aji, pengiriman serentak guru-guru sekolah RSBI belajar ke jenjang S2 tidak memungkinkan karena mengganggu proses belajar- mengajar. Selain itu, anggaran DIY juga terbatas. "Target kami tiga tahun ke depan sudah sesuai syarat. Prioritas pengembangan saat ini peningkatan kualitas SDM, pemenuhan sarana laboratorium, dan peningkatan standar proses," ujar Aji.

Kepala SMPN 1 Galur, Kulon Progo, Edi Suwarno menuturkan, meski SMPN 1 Galur ditetapkan RSBI, saat ini hanya 2 guru berkualifikasi S2 dari 35 guru. "Mestinya minimal 7-8 guru," katanya. Kepala SMKN 2 Wates, Kulon Progo, Mujiono mengatakan, sebanyak 18 guru dari 32 guru saat ini menempuh S2 atas biaya sendiri. Di SMKN 2 Wates yang juga RSBI hanya satu guru lulusan S2.

Menurut Mujiono, kemampuan berbahasa Inggris guru-guru mata pelajaran lemah, demikian juga siswa-siswi. Padahal, pembelajaran seharusnya berbahasa Inggris. "Pelajaran Sains dan Matematika disampaikan bilingual, tetapi lebih banyak bahasa Indonesia," katanya.

Ia mengakui, dengan ditetapkan sebagai RSBI, beban siswa maupun guru lebih berat. Pihaknya mengadopsi silabus Cambridge untuk Sains, Matematika, dan IPA. "Tak banyak siswa berminat mendapat sertifikat internasional Cambridge," katanya.

Baru 60 persen guru mempraktikkan pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi, tetapi belum berbasis internet.

Seharusnya, tiap ruang dilengkapi sarana pembelajaran berbasis TIK, tetapi hingga kini baru terpenuhi 30 persen. "Sarana pembelajaran digital belum memadai," katanya. (Kompas.com)

RSBI Dalam Sorotan (4)

Penyelenggaraan rintisan sekolah bertaraf internasional di Jawa Timur tahun 2010 dinilai berjalan sesuai aturan. Meski demikian, Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur Harun tidak bisa menyebutkan detail hasil evaluasi penyelenggaraan RSBI.

"Setidaknya 90 persen (RSBI) sudah berjalan sesuai aturan. Parameternya kualitas guru, kepala sekolah, akreditasi, sarana dan prasarana, kurikulum, pembelajaran, manajemen, lulusan, dan kultur sekolah," tutur Harun kepada wartawan, Kamis (7/10) di Surabaya.

Ketika ditanya apa kekurangan dari 10 persen RSBI di Jawa Timur, Harun mengelak. Demikian pula ketika ditanya mengenai jumlah keseluruhan guru RSBI maupun jumlah guru RSBI yang sudah menyelesaikan studi S2. "Tidak bisa begitu. Itu justru masih dievaluasi. Orangnya masih di Batu," katanya.

Padahal, rapat evaluasi RSBI sudah dilakukan sejak Senin (4/10). Lagi pula, Menteri Pendidikan Nasional M Nuh sudah menegaskan evaluasi RSBI secara menyeluruh dilakukan mulai Juli 2010. Diharapkan evaluasi rampung pada Agustus 2010 dan kebijakan baru terkait RSBI bisa dikeluarkan (Kompas, 19/7).

Bertahap

Tahun 2010 sudah terdapat 164 lembaga pendidikan yang berstatus RSBI di Jawa Timur. Jumlah itu terdiri atas enam SD, 66 SMP, 49 SMA, dan 43 SMA. Sekolah-sekolah itu mendapatkan status RSBI secara bertahap sejak 2006.

Untuk mempersiapkan sekolah-sekolah yang berstatus RSBI, menurut Harun, Pemerintah Provinsi Jatim sudah mengalokasikan sejumlah anggaran sejak 2008. Tahun itu disiapkan Rp 11 miliar untuk mengadakan peralatan teknologi informasi dan komunikasi di 113 lembaga RSBI.

Tahun selanjutnya dialokasikan Rp 11,3 miliar untuk program S2 linear 226 guru RSBI. Tahun 2010 alokasi ini masih sama baik jumlah maupun peruntukannya karena merupakan kelanjutan program S2 linear. Untuk 2011, direncanakan alokasi anggaran Rp 16 miliar untuk program S2 linear 320 guru pengajar RSBI.

Ketua Dewan Pendidikan Jatim Zainuddin Maliki menilai, program RSBI di Indonesia hanya berpusar pada peningkatan jenjang studi guru dan pengadaan sarana prasarana. Namun, iklim belajar yang membentuk lulusan dengan kualitas internasional tidak ada.

Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya ini mencontohkan, di luar negeri jumlah mata pelajaran yang diambil siswa hanya tujuh sampai sembilan. Dengan jumlah itu saja, siswa dituntut sungguh-sungguh belajar. Di Indonesia, meskipun jumlah mata pelajaran jauh lebih banyak, sampai 14-15 mata pelajaran, pendalamannya tidak ada. Siswa pun terkesan santai dalam belajar. (Kompas.com)

RSBI Dalam Sorotan (3)

Pemerintah diminta untuk menghapuskan proyek rintisan sekolah bertaraf internasional atau sekolah berstandar internasional di jenjang pendidikan dasar hingga menengah yang dimulai sejak 2006. Pemerintah seharusnya fokus menjalankan kewajiban untuk meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan sehingga setiap sekolah di seluruh pelosok Tanah Air mencapai delapan standar nasional pendidikan (SNP).

Pasalnya, proyek rintisan sekolah bertaraf internasional atau sekolah berstandar internasional (RSBI/SBI) mendorong kastanisasi, antidemokrasi, dan bertentangan dengan tujuan pendidikan. Selain itu, program ini justru menciptakan hambatan bagi warga untuk mendapat pelayanan pendidikan berkualitas karena elitis bagi kelompok tertentu, padahal dana yang dikucurkan berasal dari APBN.

Demikian kesimpulan dari studi awal Proyek RSBI/SBI yang dilaksanakan Koalisi Pendidikan. Yang tergabung dalam koalisi ini antara lain serikat guru dari berbagai wilayah di Indonesia, Aliansi Orang Tua Peduli Pendidikan, dan Indonesia Corruption Watch (ICW).

Ade Irawan, Koordinator Monitoring Pelayanan Publik ICW, di Jakarta, Jumat (5/11/2010), mengatakan bahwa subsidi dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk setiap RSBI rata-rata mencapai Rp 1,5 miliar. Namun, pemerintah membebaskan sekolah dalam memungut uang dari calon orangtua atau orangtua murid.

Rata-rata pungutan masuk RSBI SD untuk SPP sebesar Rp 200.000 per bulan, sedangkan dana sumbangan pembangunan (DSP) mencapai Rp 6 juta. Di RSBI SMP, besar SPP sekitar Rp 450.000 dan DSP Rp 6 juta.

Di SMA/SMK, besar SPP Rp 500.000 dan DSP Rp 15 juta. Biaya-biaya tersebut belum termasuk biaya tes masuk dan biaya belajar atau studi banding ke sekolah di luar negeri.

Ade mengatakan, Kemendiknas mendorong sekolah berlabel RSBI untuk melakukan pungutan kepada orangtua atau calon orangtua murid. Tidak ada aturan untuk mengendalikan pungutan yang dilakukan oleh sekolah. (Kompas.com)

RSBI Dalam Sorotan (2)

Harapan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan murah atau minimal terjangkau masih bagaikan jauh panggang dari api. Tingginya biaya pendidikan masuk sekolah SMP/SMA, terutama sekolah yang menyelenggarakan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI), menjadikan orangtua yang memiliki penghasilan pas-pasan "dipaksa" harus gigit jari.

Ini mengingat jika masuk RSBI, orangtua harus menyediakan uang puluhan juta rupiah. Siswa RSBI akan mendapatkan pelayanan pendidikan yang tentu saja berbeda dengan kelas regular. Tidak saja menikmati fasilitas belajar yang cukup mewah dan lengkap, tapi juga dengan pengajaran berbahasa asing (Inggris).

Di Kota Surabaya, SMP yang menyelenggarakan RSBI adalah SMPN 1, SMPN 12, dan SMPN 6. Sedangkan di tingkat SMA adalah SMAN 2, SMAN 5, dan SMAN 15. Saat ini para orangtua berbondong-bondong menuju sekolah-sekolah tersebut, dengan harapan anaknya bisa masuk kelas "khusus" tersebut, meskipun harus mengeluarkan uang puluhan juta rupiah untuk menopang biaya pendidikan anaknya di RSBI.

Konsekuensi dari RSBI ini, tentu saja akan melahirkan diskriminasi dan kastanisasi. Hanya anak dari orangtua yang berduit tebal yang bisa masuk ke RSBI, sementara anak dari keluarga pas-pasan apalagi miskin dipastikan akan tersingkir dari lingkaran RSBI. RSBI hanya untuk kasta tertentu saja, yakni kasta keluarga kaya. Hanya siswa dari keluarga berduit yang akan mendapatkan pendidikan yang baik dan berkualitas, sementara siswa dari keluarga miskin dipaksa mendapatkan pendidikan pas-pasan atau ala kadarnya.

Dengan melihat kenyataan praktik dan pola rekrutmen RSBI selama ini yang cenderung berpihak pada anak orang kaya. Dengan pola semacam itu, hanya anak orang kaya alias berduit yang bisa diterima di RSBI. Sedangkan anak potensial yang orangtuanya miskin atau berpenghasilan pas-pasan harus jadi penonton atau mendapat sekolah pas-pasan. Dengan kata lain, dunia pendidikan kita (baca: RSBI) sangat begitu "ramah" dan akomodatif terhadap kaum berduit, tetapi sangat begitu kejam dan diskriminatif terhadap kaum miskin. Pendidikan seolah-olah "hanya" hak milik orang kaya, sedangkan orang miskin tidak punya hak. Kapitalisasi

Dengan sistem rekrutmen semacam itu, bukan tidak mungkin praktik KKN akan merajalela. Para orangtua yang memiliki penghasilan tinggi akan ramai-ramai memasukkan anaknya dengan memberikan sumbangan uang pendidikan yang sangat besar, meskipun dengan kemampuan kecerdasan yang pas-pasan. Dengan demikian, nantinya uang akan menjadi "penentu" lolos atau tidaknya calon siswa baru diterima. Dan kalau sudah begini, lagi-lagi hanya anak orang kaya yang bisa masuk RSBI.

Lalu apa yang bisa diharapkan dari dunia pendidikan kita? Dengan sistem semacam ini, pendidikan kita hanya akan melahirkan anak didik yang berwatak kapitalistik dan komersialistik. Ia (masyarakat didik) sudah tidak lagi menghiraukan nilai-nilai moral, etika, dan norma

karena semua itu bisa dibeli dengan uang. Sebegitu "berkuasanya" dunia materi, teringat dengan sebuah ungkapan Voltaire: "dalam perkara uang semua orang mempunyai 'agama' yang sama." Uang telah menempati bagian penting dalam dunia pendidikan yang dimainkan di balik idiologi pertumbuhan.

Nilai-nilai substansitif (baca: pencerdasan dan pencerahan) yang terkandung dalam pendidikan akan semakin luntur ditelan oleh semangat, ambisi, dan praktik (pendidikan) yang sangat kapitalistik dan konsumeristik tersebut.

Dengan mencermati kenyataan semacam itu, apa yang sesungguhnya terjadi pada dunia pendidikan di Indonesia saat ini? Jawabnya adalah dunia pendidikan kita (baca: RSBI) telah masuk dalam suatu mesin giling kapitalis dan arus komersialisasi. Dunia pendidikan kita telah terjebak dan atau menjebakkan diri, lumat dalam mekanisme pasar yang sudah tidak lagi menghiraukan kaum lemah. Tapi ini justru menjadi komoditas yang sangat mahal nilainya.

Dengan kata lain, RSBI sama saja telah melakukan praktik kapitalisasi pendidikan. Sekolah RSBI telah memanfaatkan dan bahkan mengeksploitasi pendidikan hanya sekadar untuk kepentingan ekonomi semata (baca: bisnis). Kuasa uang sudah begitu mudah memasuki area dunia pendidikan kita dan mengalahkan moralitas pendidikan itu sendiri. Memang pendidikan butuh uang, tetapi uang bukanlah segala-galanya untuk meraih pendidikan.

Kondisi ini sungguh sangat ironis dan sangat kontradiktif dengan komitmen pemerintah dalam mengembangkan dunia pendidikan. Di saat kita berusaha untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas pendidikan bagi semua (education for all), pada saat yang sama justru sekolah melakukan pembunuhan terhadap dunia pendidikan itu sendiri.

Tingginya biaya RSBI dan sistem yang sangat kapitalistik tersebut sangat begitu mencekik leher masyarakat yang berpenghasilan pas-pasan. Anak yang potensial, tetapi ekonomi keluarganya minim bukan tidak mungkin akan dilindas oleh sistem yang kapitalistik semacam itu. Dan memang inilah watak sebenarnya dari sistem kapitalisme, ia akan melindas orang-orang lemah, tetapi sebaliknya mengangkat orang-orang berduit.(Yudha Cahyawati-Kompas.com)

RSBI Dalam Sorotan (1)

Kontroversi mengenai Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) merupakan satu dari sekian banyak masalah pendidikan yang belum terselesaikan dan masih menjadi bahan perbincangan hangat di berbagai kalangan pendidikan. RSBI merupakan sekolah nasional yang menyiapkan peserta didik berbasis Standar Nasional Pendidikan (SNP) Indonesia berkualitas internasional dan lulusannya diharapkan berdaya saing internasional.

"Saya tidak setuju sekali dengan RSBI, hapuskan saja. Masyarakat seharusnya secara tegas menolak Permendiknas Nomor 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada jenjang pendidikan," ujar Ketua Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Suparman di acara diskusi "Memerangi Keterbelakangan Pendidikan Indonesia", Rabu (25/8/2010) di Jakarta.

Adanya RSBI telah menimbulkan diskriminasi dan komersialisasi pendidikan nasional. Hal ini harus dicermati pemerintah karena akan menjadi "bom waktu" yang bisa merusak pendidikan di Indonesia di masa yang akan datang. Perbaikan kebijakan pendidikan mengenai RSBI mau tak mau dimulai dari sekarang.

"Sebaiknya dihapuskan saja dan dana RSBI itu diberikan kepada sekolah-sekolah yang memang membutuhkan dana," tambah Suparman.

Hal senada juga diungkapkan oleh E Baskoro Poedjinoegroho selaku Pembina Kolese Kanisius. Dengan tegas Baskoro menyatakan, RSBI harus dihapus. Dia mengatakan, selama siswa bersekolah di Indonesia adalah sekolah nasional.

"Sekolah nasional tidak berkembang, ya karena itu. Kita yakini, sekolah nasional bagus, lalu kenapa sekolah nasional diinternasionalisasikan, itu konyol sekali," lanjut Baskoro.

Baskoro mengungkapkan, metode, sistem, dan konten pendidikan harus bersifat nasional, kecuali jika ingin mempersiapkan anak didik ke perguruan tinggi, barulah anak didik menggunakan kurikulum internasional.

"Nyatanya mereka kuliah di Indonesia juga kok," ucap Baskoro.

Jika ingin jujur, Baskoro melanjutkan, guru-guru di Indonesia pun tidak siap dengan konsep RSBI. Karena diinternasionalisasikan, guru hanya menerjemahkan semua pelajaran yang diajarkannya dengan bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris.

"Tetapi di sisi lain, mindset mereka masih menggunakan pemikiran nasional, bukan internasional," seloroh Baskoro. (Kompas.com)

KDRT dan Ciri-ciri Perilaku Korbannya


Banyak wanita menganggap kekerasan dalam rumah tangga sebagai hal tabu. Itulah mengapa mereka cenderung menutupi penderitaan fisik dan psikologis yang dilakukan pasangannya. Dalam kondisi ini, peran sahabat dibutuhkan.

Sahabat yang baik harus memiliki sensitivitas tinggi untuk melihat penderitaan yang tengah dialami orang terdekat. Ini penting untuk membebaskan mereka dari hubungan tak sehat akibat perilaku kasar pasangannya.

Ada sejumlah tanda yang bisa memberi petunjuk tentang kekerasan yang mereka alami, seperti dikutip dari laman Modern Mom.

Menghilang

Simak perubahan sikapnya. Mereka yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga biasanya cenderung menarik diri dari lingkungan sosialnya. Mereka umumnya tak ingin orang di sekelilingnya melihat tanda-tanda kekerasan seperti memar atau bengkak yang terjadi.

Riasan berlebih

Perhatikan pula riasannya. Mereka biasanya menggunakan riasan tebal untuk menyamarkan tanda kekerasan yang masih membekas.

Luka mencurigakan

Orang yang mendapat siksaan fisik dari pasangannya tak jarang mengalami cedera. Hanya, mereka cenderung menutupinya dengan mengatakan bahwa luka yang terjadi akibat terjatuh, atau kecelakaan umum. Saat melihat sahabat terluka, jangan ragu menanyakan kronologi peristiwanya. Simak, apakah konsistensi ceritanya.

Mendadak murung dan pendiam

Kasus kekerasan yang mereka alami biasanya memunculkan trauma dan tanpa sadar membuat pribadinya berubah. Murung dan pendiam adalah sinyal paling umum, terutama ketika berada di lingkungan sosial. Simak ketulusan senyumnya saat berada di samping pasangannya. Orang yang mengalami intimidasi dalam rumah tangga biasanya tidak berkutik ketika berada di dekat pasangan yang menyiksanya.

Tak betah di rumah

Mereka yang tengah mengalami kekerasan dalam rumah tangga biasanya cenderung menghindari kebersamaan dengan pasangannya. Mereka tak akan tenang di rumah dan berusaha mencari kesibukan di luar rumah. (vivanews.com)