Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009-2014 telah berlalu dan siapa pemenangnyapun semua sudah tahu meskipun masih versi quickcount yang biasanya tak meleset jauh dari perhitungan manual versi KPU yang terkesan bertele-tele. Hampir semua rakyat Indonesia tahu siapa mereka tapi tak banyak yang tahu tentang siapa mereka sebenarnya, sebab yang kita tahu pada umumnya adalah mereka saat ini, sedangkan mereka pada masa lalu? ini dia profil singkatnya:
Megawati Soekarnowati
Menjadi anak proklamator tidak serta merta membuat karir politik Megawati Soekarnoputri berjalan mulus. Wanita kelahiran Yogyakarta 62 tahun silam itu harus jatuh bangun untuk menggapai kursi RI 1 pada tahun 2000.
Jalan terjal serta berbagai macam cobaan senantiasa mendominasi setiap langkah Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri sebelum era reformasi. Sejak kejatuhan ayahnya dari kursi kepresidenan, kehidupan Mega tak pernah lepas dari pengawasan pemerintah orde baru.
Karir politik Mega yang diawali pada 1986 itu pun harus dilalui dengan berdarah-darah. Awalnya semua berjalan lancar. Anak kedua Bung Karno itu dipercaya sebagai Wakil Ketua PDI cabang Jakarta Pusat dan semua tugasnya bisa diselesaikan dengan sempurna. Bahkan Mega hanya butuh waktu satu tahun untuk masuk ke Senayan. Selang beberapa tahun kemudian, dalam Kongres Luar Biasa PDI yang diselenggarakan di Surabaya pada 1993, Megawati terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PDI.
Sayangnya, pemerintah tidak puas dengan terpilihnya Mega sebagai Ketua Umum PDI. Mega pun didongkel dalam Kongres PDI di Medan pada tahun 1996, yang memilih Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI.
Mega pun tidak menerima pendongkelan dirinya dan tidak mengakui Kongres Medan. Ia masih merasa sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Kantor dan perlengkapannya pun dikuasai pihak Mega. Kendati demikian, ibu dari Puan Maharani itu tidak mau surut satu langkah pun. Mereka tetap berusaha mempertahankan kantor pusat PDI. Namun, Soerjadi yang didukung pemerintah memberi ancaman akan merebut secara paksa kantor DPP PDI yang terletak di Jalan Diponegoro.
Ancaman Soerjadi kemudian menjadi kenyataan. Tanggal 27 Juli 1996 kelompok Soerjadi benar-benar merebut kantor pusat PDI dari pendukung Mega. Aksi penyerangan yang menyebabkan puluhan pendukung Mega meninggal itu, berbuntut pada kerusuhan massal di Jakarta yang dikenal dengan nama Peristiwa 27 Juli.
Peristiwa penyerangan kantor pusat PDI tidak menyurutkan langkah Mega. Malah, ia makin mantap mengibarkan perlawanan. Ia memilih jalur hukum, walaupun kemudian kandas di pengadilan. Mega tetap tidak berhenti. Tak pelak, PDI pun terbelah dua: PDI di bawah Soerjadi dan PDI pimpinan Mega. Pemerintah mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah.
Keberpihakan massa PDI kepada Mega makin terlihat pada pemilu 1997. Perolehan suara PDI di bawah Soerjadi merosot tajam. Sebagian massa Mega berpihak ke Partai Persatuan Pembangunan, yang kemudian melahirkan istilah Mega Bintang. Mega sendiri memilih golput saat itu.
Bintang Megawati baru terlihat bersinar cemerlang pada Pemilu 1999. PDI Mega yang berubah nama menjadi PDI Perjuangan berhasil memenangkan pemilu. Massa PDIP memaksa supaya Mega menjadi presiden. Mereka mengancam, kalau Mega tidak jadi presiden akan terjadi revolusi.
Namun cobaan kembali menerpa Megawati, Sidang Umum MPR tahun 1999 memilih KH Abdurrahman Wahid sebagai Presiden. Mega kalah tipis dalam voting pemilihan Presiden: 373 banding 313 suara.
Kekecewaan Mega akhirnya sedikit terobati karena mencabut mandat kepada Gus Dur sebagai presiden. Sidang Istimewa MPR pada Senin, 23 Juli 2001, telah menaikkan status Megawati dari Wapres menjadi Presiden.
Sayangnya pada Pilpres 2004 Megawati yang berpasangan dengan Hasyim Muzadi kalah dari SBY-JK dalam putaran kedua. Kini setelah lima tahun berlalu, Mega kembali menantang SBY dan JK. Namun, itu pun tak mudah. Mega bersama PDIP harus menerima kenyataan perolehan suaranya di pemilu legislatif anjlok serta berjuang keras mendapatkan mitra koalisi agar bisa ikut bertarung di Pilpres 2009.
Jalan terjal bagi Mega tak hanya ada di jalur politik. Dalam hal pendidikan Mega juga terbilang kurang sukses. Pendidikannya di Fakultas Pertanian Unpad Bandung (1965-1967) dan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1970-1972) tidak sampai diselesaikannya. Beruntung dia masih sempat berproses di GMNI.
Di wilayah lain, kehidupan rumah tangga Mega pun berantakan sepeninggal sang suami yang wafat setelah pesawatnya jatuh di laut sekitar Biak, Irian Jaya. Waktu itu usia Mega masih awal dua puluhan dengan dua anak yang masih kecil.
Kegagalan dalam biduk rumah tangga kembali dialami Mega, ia sempat menjalin kasih dengan seorang pria asal Mesir, tetapi pernikahannya tak berlangsung lama. Kebahagiaan dan kedamaian hidup rumah tangganya baru dirasakan setelah ia menikah dengan Moh Taufiq Kiemas, rekannya sesama aktivis di GMNI dulu.
Prabowo Subianto
Julukan the rising star sempat melekat pada figur Prabowo Subianto saat berkarir di dunia militer beberapa tahun lalu. Diusianya yang masih belia, ia telah menduduki jabatan strategis di TNI.
Latarbelakang inilah barangkali yang menjadi salah satu pertimbangan Megawati Soekanorputri memilih Prabowo sebagai cawapresnya. Karir putra begawan Sumitro Djojohadikusumo itu memang terbilang moncer. Dia pernah menjabat Danjen Kopassus pada Desember 1995 - Maret 1998 dan Pangkostrad pada 20 Maret 1998 - 22 Mei 1998.
Meski begitu, sejumlah pihak senantiasa mengaitkan kecemerlangan karir pria kelahiran Jakarta 17 Oktober 1951 itu dengan sosok Soeharto. Ya, Prabowo pernah menjadi suami Tatiek Soeharto.
Rival Prabowo senantiasa menuding karir ayah Didit Prabowo itu bisa melesat karena ada titipan dari Soeharto. Begitu pula dengan kelihaiannya berkelit atas tudingan keterlibatan dalam kasus-kasus pelanggaran HAM saat reformasi bergulir.
Di puncak karir kemiliterannya, Prabowo mendapat ujian berat, terutama terkait situasi politik saat 1998. Namun demikian, Prabowo belum diadili atas kasus yang dituduhkannya hingga sekarang.
Setelah insiden politik tersebut, Prabowo mengasingkan diri ke Yordania. Di sana ia mendapat suaka dan bahkan tawaran status kewarganegaraan dari Raja Hussein dan putranya yang merupakan kawan Prabowo di sekolah militer.
Kini setelah hampir sepuluh tahun reformasi digulirkan, Prabowo kembali hadir ke tengah-tengah masyarakat Indonesia. Dia bukan lagi seorang tentara, melainkan sudah menjadi seorang politisi.
Bersama para koleganya Prabowo mendirikan Partai Gerindra yang konon memiliki dana tak terbatas. Kakak Hasyim Djojohadikusumo itu pun gencar beriklan dan berkampanye ke seluruh penjuru Tanah Air. Jet mewah dan para artis papan atas pun disewanya sebagai penopang kampanyenya. Dalam setiap kesempatan, dia selalu mendegung-dengungkan program kemandirian ekonomi dan ekonomi kerakyatan. Sebuah istilah yang senantiasa diperjuangkan ayahnya pada masa lalu.
Hasilnya suara Partai Gerindra pun cukup lumayan dalam pemilu legislatif lalu. Gerindra mampu lolos parliamentary threshold dengan perolehan suara nasional 4,305 persen dan mampu mengungguli Partai Hanura yang dibesut Wiranto.
Menariknya lagi, dengan perolehan suara di bawah lima persen, Gerindra sempat menawar kepada PDIP agar Prabowo yang diajukan sebagai capres, bukan cawapres. Namun usulan itu kandas dan Prabowo harus menerima untuk sementara menjadi pendamping Mega. Sungguh patut ditunggu apakah bintang Prabowo akan kembali bersinar di ranah politik?
Susilo Bambang Yudhoyono
Jenderal TNI Purn Dr H Susilo Bambang Yudhoyono atau populer dengan panggilan SBY, adalah perwira militer kedua yang menjadi Presiden Republik Indonesia. Siapa sangka jenjang karir politiknya melesat begitu cepat, ketika pertama kali menjejakkan karir politik dengan menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi di masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid, 1999 silam.
Sus, begitu SBY dipanggil kedua orangtuanya, lahir di Tremas, Arjosari, Pacitan, Jawa Timur, Indonesia, 9 September 1949 silam, dari pasangan Raden Soekotjo dan Siti Habibah. Dari ayahnya, silsilahnya tersambung hingga Pangeran Buwono Keling dari Kerajaan Majapahit dengan RM Kustilah, yang merupakan keturunan Gusti Bandoro Ayu (putri Sri Sultan Hamengkubuwono III).
Usai menjalani pendidikan hingga jenjang sekolah menengah tingkat atas, SBY memilih pendidikan militer sebagai pilihan profesinya di masa mendatang. Militer rupanya bukan pilihan yang salah untuk karirnya ke depan. Tahun 1973, saat lulus dari Akademi Militer Indonesia, SBY mendapatkan penghargaan Adhi Makayasa sebagai murid lulusan terbaik dan Tri Sakti Wiratama yang merupakan prestasi tertinggi gabungan mental, fisik, dan intelek. Setahun kemudian, periode 1974-1976, SBY memulai kariernya di Dan Tonpan Yonif Linud 330 Kostrad. Tahun 1976, SBY dikirim ke Airborne School dan US Army Rangers, American Language Course (Lackland-Texas), Airbone and Ranger Course (Fort Benning) Amerika Serikat.
Kariernya kemudian terhitung cukup lancar, hingga periode 1988-1989, SBY pun kembali mendapatkan kesempatan untuk meneruskan pendidikan militer di Sekolah Komando Angkatan Darat dan di US Command and General Staff College pada tahun 1991. Setelah menjabat beberapa jabatan dan sempat menjadi Chief Military Observer United Nation Peace Forces (UNPF) di Bosnia-Herzegovina pada 1995-1996, tahun 1997 diangkat sebagai Kepala Angkatan Bersenjata dan Staf Urusan Sosial dan Politik, dan menjadi Ketua Fraksi ABRI pada 1998, SBY pensiun dari kemiliteran pada karena pengangkatannya sebagai menteri dalam kabinet Presiden Abdurrahman Wahid.
Namun pada awal karir politiknya tidaklah mulus. Setelah diangkat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi pada 1999, jabatan SBY sempat berganti menjadi Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan, hingga kemudian dibubarkan bersamaan dengan dicabutnya mandat Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2001. Namun saat Presiden Megawati Soekarnoputri menggantikan Abdurrahman Wahid, SBY kembali dipercaya untuk memegang jabatan Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan.
Di saat yang hampir bersamaan, 9 September 2002, SBY mendirikan partai politik yang diberinama Demokrat. Merasa tidak dipercaya lagi untuk memegang jabatannya di penghujung Kabinet Gotong Royong yang dipimpin Megawati, SBY mengundurkan diri. Melalui partai yang dipimpinnya yang memperoleh 7,45 persen suara di Pemilihan Legislatif 2004, SBY bersama Jusuf Kalla memenanggi pertarungan di Pemilihan Presiden 2004.
Dalam kehidupan pribadinya, SBY menikahi Kristiani Herawati, putri ketiga Jenderal TNI Purn Sarwo Edhi, seorang tokoh militer yang berjasa dalam kisruh politik dan militer di tahun 1965. Dari wanita yang kerap dipanggil Ibu Ani ini, SBY memiliki dua putra, Agus Harimurti Yudhoyono yang lahir pada 1979) dan Edhie Baskoro Yudhoyono pada 1982. Dari kedua anaknya Agus mengikuti jejak SBY dengan berkarir di militer, dan terakhir berpangkat Kapten Infanteri.
Agus lulusan dari SMA Taruna Nusantara tahun 1997 dan Akademi Militer Indonesia tahun 2000. Serupa dengan SBY, Agus juga mendapatkan penghargaan Adhi Mekayasa. Agus menikahi Anissa Larasati Pohan, seorang aktris yang juga anak dari mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Aulia Pohan. Sementara si bungsu, Edhie Baskoro memilih pendidikan formal, di Curtin University of Technology di Perth, Australia Barat, dan lulus dengan gelar ganda dalam Financial Commerce dan Electrical Commerce.
Dengan perolehan suara Partai Demokrat yang melonjak drastis dibanding pada Pemilihan Legislatif 2004, yakni 20,64 persen, membuat Demokrat dengan leluasa mencalonkan kembali SBY sebagai kandidat presiden periode 2009-20014.
Budiono
Berasal dari keluarga yang sederhana di Blitar, Prof Dr Boediono M Ec, berada di tampuk jabatan Gubernur Bank Indonesia. Kini pria yang masih bersikap sederhana ini, disebut-sebut bakal menjadi pendamping capres Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, untuk bertarung di Pemilihan Presiden 2009.
Lahir dari keluarga sederhana, 25 Februari 1943 di Blitar, Jawa Timur, Boediono kerap dipanggil Pak Bud oleh relasi dan orang-orang yang seringkali berinteraksi dengannya. "The man to get the job done", merupakan sebutan yang melekat padanya. Namun oleh orang-orang yang berseberangan dengannya, mengatakan Boediono sebagai ekonom yang tidak berpihak pada ekonomi kerakyatan, atau disebut dengan penganut Neoliberalis.
Karirnya di kabinet bermula ketika diminta untuk menjabat Menteri Negara Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas pada Kabinet Reformasi Pembangunan, 1998-1999. Saat itu kabinet merupakan pemerintahan peralihan dari orde baru ke orde reformasi yang dipimpin oleh BJ Habibie. Sebelumnya dia menjabat sebagai Direktur Bank Indonesia pada masa pemerintahan Soeharto.
Boediono kembali dipercaya untuk mengemban jabatan menteri dalam Kabinet Gotong Royong, 2001-2004, menggantikan Rizal Ramli. Kali ini Boediono menjabat Menteri Keuangan. Sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Gotong Royong bersama Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Boediono membawa Indonesia lepas dari bantuan Dana Moneter Internasional dan mengakhiri kerja sama dengan lembaga tersebut, dan juga berhasil menstabilkan kurs rupiah di kisaran Rp9.000 per dolar AS. Mereka dijuluki "The Dream Team" karena dinilai berhasil menguatkan stabilitas makroekonomi Indonesia dari Krisis Moneter 1998.
Kemudian, di Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Boediono pun kembali memegang jabatan menteri. Namun kali ini sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian menggantikan Aburizal Bakrie dalam reshuffle kabinet tahun 2005.
Di tahun 2008, posisi Boediono pun kembali bergeser. Jabatan Gubernur Bank Indonesia pun diembannya untuk menggantikan Burhanuddin Abdullah yang tersandung masalah aliran dana Bank Indonesia.
Dalam jenjang pendidikannya, Boediono memperoleh gelar Bachelor of Economics (Hons) dari Universitas Western Australia pada tahun 1967. Lima tahun kemudian, gelar Master of Economics diperoleh dari Universitas Monash. Kemudian pada tahun 1979, ia mendapatkan gelar S3 (Ph D) dalam bidang ekonomi dari Wharton School, Universitas Pennsylvania. Bahkan dia mendapat penghargaan Bintang Mahaputra Adipradana tahun 1999 dan "Distinguished International Alumnus Award" dari University of Western Australia pada tahun 2007.
Saat ini Boediono juga mengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, di almamaternya ini Boediono diangkat sebagai Guru Besar.
Dalam kehidupan pribadinya tak banyak yang tahu. Boediono beristrikan Herawati dan memiliki dua anak, Ratriana Ekarini dan Dios Kurniawan. Kediaman orang tuanya di Blitar sangatlah sederhana, begitupun kehidupan Boediono kecil. Sehingga beberapa teman-teman kecilnya menyebutnya sebagai pribadi yang sederhana. Sikap sederhananya hingga sekarang masih melekat dalam diri Boediono.
Jusuf Kalla
Majunya Muhammad Jusuf Kalla menjadi calon presiden (capres) dengan menggandeng Wiranto dari Hanura cukup mengejutkan banyak pihak. Pasalnya, pria yang kerap dipanggil Jusuf Kalla saja atau disingkat JK, sebelumnya berkongsi dengan Partai Demokrat.
Alasannya tidak lain tidak bukan, karena Rapimnas Golkar mengamanatkan agar Golkar mengajukan capres. Selain itu, pecahnya kongsi disebutkan tidak adanya kecocokan kontrak politik antara Golkar dengan Demokrat. JK yang saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Golkar akhirnya menggandeng Wiranto dari Partai Hanura untuk bertarung di Pemilihan Presiden 2009. Mereka pun menggadang slogan JK-WIN, namun kemudian diralat menjadi JK-Wiranto.
Kisah kepemimpinan JK berawal dari jiwa wirausahanya, yakni ketika memimpin perusahaan keluarganya NV Hadji Kalla dengan jabatan CEO, pada tahun 1968. Di bawah kepemimpinannya, NV Hadji Kalla berkembang dari sekedar bisnis ekspor-impor, meluas ke bidang-bidang perhotelan, konstruksi, pejualan kendaraan, perkapalan, real estate, transportasi, peternakan udang, kelapa sawit, hingga telekomunikasi. Berbagai usahanya itu kemudian berada di bawah bendera usaha Kalla Group. Bahkan karena suksesnya di usaha yang dipimpinnya, JK pernah menjabat sebagai Ketua Kamar Dagang dan Industri Daerah (Kadinda) Sulawesi Selatan.
Sementara pengalamannya di organisasi juga cukup mumpuni. Tercatat pada periode 1965-1966 Ketua HMI Cabang Makassar, Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Hasanuddin (UNHAS) 1965-1966, serta Ketua Presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tahun 1967-1969. Hingga kini, dia pun masih menjabat Ketua Ikatan Keluarga Alumni (IKA) di alamamaternya Universitas Hasanuddin, setelah terpilih kembali pada musyawarah September 2006.
Kini JK menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golongan Karya menggantikan Akbar Tanjung sejak Desember 2004. Puncak karir politiknya di Golkar dikabarkan dikarenakan suksesnya JK saat bersanding dengan Susilo Bambang Yudhoyono memenangi Pemilihan Presiden 2004 silam. Hal ini membuat JK menjabat Wakil Presiden hingga sekarang.
Pengalaman sebagai menteri pun pernah dia rasakan. Yakni di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, tetapi diberhentikan. Kemudian kembali diangkat sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat di bawah pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Jusuf Kalla kemudian mengundurkan diri sebagai menteri karena maju sebagai calon wakil presiden, mendampingi calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
JK lahir di Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, 15 Mei 1942 sebagai anak ke-2 dari 17 bersaudara dari pasangan Haji Kalla dan Athirah, pengusaha keturunan Bugis yang memiliki bendera usaha Kalla Group. Di Makassar, Jusuf Kalla dikenal akrab disapa oleh masyarakat dengan panggilan Daeng Ucu.
Pendidikan formal yang pernah dienyamnya yaitu di Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin tahun 1967, dan di The European Institute of Business Administration, Perancis pada tahun 1977. Selanjutnya setelah menikah dengan Mufidah Jusuf, JK dikaruniai seorang putra dan empat putri. Kini JK merupakan kakek dengan sembilan orang cucu.
Wiranto
Wiranto dikenal sebagai perwira tinggi militer Indonesia yang cukup kontroversial. Berbagai tuduhan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) saat dirinya menjabat sebagai perwira militer yang dituduhkan padanya, hingga kini belum terbukti.
Tidak takut tuduhan-tuduhan itu menjegal karir politiknya, Wiranto pun mecalonkan diri untuk bertarung di Pemilihan Presiden 2009 mendatang. Bersama Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla, Wiranto menjadi calon wakil presiden.
Karir politiknya bermula saat ditunjuk sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan dalam kabinet pimpinannya Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Wiranto dipercaya sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, namun tak lama mantan Panglima ABRI kemudian dinonaktifkan dan mengundurkan diri.
Wiranto pun semakin kepincut dengan dunia politik, dia pun maju dalan konvensi Partai Golkar dan menang atas Ketua Umum Partai Golkar saat itu Akbar Tandjung untuk melaju sebagai kandidat presiden pada 2004. Bersama pasangan kandidat wakil presiden Salahuddin Wahid, langkahnya terganjal pada putaran pertama karena menempati urutan ketiga dalam Pemilihan Pesiden 2004.
Penasaran dengan dunia politik, Wiranto pun mendirikan partai politik yang dinamakannya Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan tampil sebagai ketua umum partai pada 21 Desember 2006. Kemudian berbagai langkah-langkah pun dilakukannya untuk maju dalam Pemilihan Presiden 2009 mendatang.
Wiranto, lahir 4 April 1947 di Solo, Jawa Tengah. Ayahnya, RS Wirowijoto adalah seorang guru sekolah dasar, dan ibunya bernama Suwarsijah. Wiranto mengenyam pendidikan di Akademi Militer Nasional (AMN) 1968, Universitas Terbuka, Jurusan Administrasi Negara, 1995. Perguruan Tinggi Ilmu Hukum Militer, 1996.
Namanya melejit setelah menjadi ajudan Presiden Suharto tahun 1987-1991. Setelah sebagai ajudan presiden, karir militer Wiranto semakin menanjak ketika tampil sebagai Kasdam Jaya, Pangdam Jaya, Pangkostrad, dan KSAD. Selepas KSAD, dia ditunjuk Presiden Soeharto menjadi Panglima ABRI, Maret 1998.
Masa itu terjadi pergantian pucuk kepemimpinan nasional. Kisruhnya situasi politik saat itu yang menyebabkan korban jiwa, menyebabkan sosok Wiranto menjadi salah satu orang yang dituding ikut bertanggung jawab. Namun posisinya sebagai Pangliman ABRI tetap dipertahankan ketika peralihan kepemimpinan dari Soeharto ke BJ Habibie.(okezone.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar